Typhonium flagelliforme dapat dengan mudah ditemukan di hutan Indonesia. Telah digunakan untuk mengobati luka dalam dan edema. Rhizoma tanaman secara tradisional telah digunakan sebagai ekspektoran untuk batuk dan sebagai pengobatan untuk penyakit paru-paru dll. Di Filipina, bunganya digunakan untuk menangkal pendarahan dan membantu dalam penyembuhan luka (Perry, 1980).
Tanaman ini memiliki sifat antikanker, ditemukan pada awal tahun 1990-an (Neoh, 1992) namun hingga saat ini belum digunakan secara resmi sebagai obat antikanker, karena belum ditemukan senyawa aktifnya. Namun, tanaman ini telah digunakan secara luas sebagai salah satu komponen dari ramuan tradisional untuk mengobati kanker payudara, paru-paru, usus besar dan hati (Teo dan Ching, 1996). Itokawa dan Takeya (1993) menemukan bahwa ekstrak T. flagelliforme dari akar, rimpang, batang dan daun memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel P388.
Sebuah teknik budidaya telah ditetapkan untuk tanaman ini (Su et al., 2000). Sebuah media digunakan untuk membuat formulasi yang dapat diproduksi secara masal dalam Planlet (kalus yang berkembang jadi tunas yang dapat menghasilkan akar dan selanjutnya tumbuh menjadi individu baru). Kultur invitro dalam waktu empat minggu menggunakan sistem total rendaman. Sebagai perbandingan, tanaman induk yang tumbuh di habitat alami diambil setidaknya sebelum 12 minggu, sehingga mereka dapat dianggap menguntungkan untuk persiapan ramuan tradisional (Chan et al, 2000).
Planlet in-vitro telah diuji di laboratorium agar efektif melawan sel-sel tumor kelenjar mammae, paru-paru dan hati. Oleh karena itu, sistem penyebaran dapat digunakan sebagai metode untuk produksi masal typhonium flagelliforme dan ini akan menjamin kelangsungan pasokan dari tanaman obat dan bahan tanaman (Chan dan Koh, 2002).
Sumber: Chan Lai Keng, PhD, Universitas Sains Malaysia
Posting Komentar